Semua mata tertuju pada Nobunaga.
Phobia nasi.
Sumpah gue baru pertama kali denger ada phobia nasi. Di Indonesia. Yang makanan pokoknya adalah nasi.
P: "Apa kamu pake phobia nasi?! Sini kamu ke depan! Bawa piringnya!"
N: *pasrah* *pergi ke depan sambil bawa piring* *balik-balik nasi di piringnya nambah 2 centong*
Mungkin kalo gue jadi dia, mending gue kubur diri sendiri.
Dengan semangat dari para peserta, Nobunaga pun menghabiskan nasi itu sedikit demi sedikit. Gue yang berada di depan dia persis pun jadi terpacu buat ngabisin lebih cepat dari dia. Untung nggak keselek.
Di sana, kami dijemur layaknya baju habis dicuci. Berbekal topi, ubun-ubun kami setidaknya nggak sepanas api amarah Maia Estianty ke Mulan Jameela. Tapi ya........ tetep aja panas. Beberapa dari kami pun bertumbangan, cewek maupun cowok. Nggak, nggak ada banci di sana.
Sikap harus sempurna. Mata tertuju ke depan, tangan tergenggam, kaki rapat membentuk sudut 45 derajat. Tapi ada satu yang bikin gue nggak tahan untuk sikap sempurna, yaitu kata-kata yang dilontarkan oleh para pelatih.
"JEMBORET KALIAN SEMUA!!"
"NDLAHOM!!"
"TELO KAMU!!"
Yha. Dengan nada medok, gue kepengen ketawa. Tapi nggak boleh ketawa. Tapi kepengen ketawa. Duh.
Ternyata nggak cuma gue doang yang merasa demikian, semua peserta pun begitu. Makanya, tiap giliran jaga malam, pasti deh para cowok-cowok dengan suara nge-bass menirukan suara para pelatih dengan semangatnya. Mirip banget, bahkan sampai ngisengin temen yang lagi tidur dengan suara pelatih. Alhasil dia kebangun terus ngomel-ngomel gara-gara katanya mimpi ketemu pacar idaman jadi buyar. Ternyata kami masih bisa tertawa..
Ternyata nggak cuma gue doang yang merasa demikian, semua peserta pun begitu. Makanya, tiap giliran jaga malam, pasti deh para cowok-cowok dengan suara nge-bass menirukan suara para pelatih dengan semangatnya. Mirip banget, bahkan sampai ngisengin temen yang lagi tidur dengan suara pelatih. Alhasil dia kebangun terus ngomel-ngomel gara-gara katanya mimpi ketemu pacar idaman jadi buyar. Ternyata kami masih bisa tertawa..
Pengalaman di Jatiluhur memang nggak bisa gue lupain.
Terlalu epic untuk dilupain soalnya.
Kapan lagi bisa ketemu ular piton dan 2 ular kobra yang malah asik tidur melingkar di bawah kaki lu ketika lagi duduk bersila?
Kapan lagi punya kesempatan untuk pegang ular, potong, lalu dikulitin?
Kapan lagi disuruh dayung perahu bertiga pakai perahu bocor?
Kapan lagi pas mau turun tebing malah hujan badai dan petir sahut-sahutan, tapi malah dihukum dan hujan-hujanan?
Kapan lagi disuruh makan tapi dikasih hitungan 1 - 10 dan kalau nggak habis, piringnya ditaruh di atas kepala dan disuruh makan dari atas kepala?
Kapan lagi dijemur bareng-bareng, lalu diceburin ke tepi danau supaya nggak kepanasan?
Kapan lagi upacara di bawah teriknya matahari, tapi masih semangat karena itu hari terakhir di Jatiluhur?
Kapan lagi saling rangkul, lalu nangis bareng-bareng karena udah berhasil melalui masa-masa susah di Jatiluhur, dan bertekad bareng-bareng untuk membangun organisasi yang lebih baik lagi?
Ya..
Banyak yang nggak bisa gue ungkapkan di sini. Yang pasti, apa yang gue tulis di sini berdasarkan apa yang gue alami di sana. Masih banyak pengalaman yang mau gue tulis, tapi kayaknya kepanjangan. Bisa jadi akan ada banyak part tentang Experiential Learning ini. Banyak teman baru juga yang gue temui di sana. Selain ada Ardev yang kebetulan sekali sekelompok dengan gue (at least ada dia, jadi gue bisa leluasa ngobrol yang lebih dalam ketimbang temen lainnya), gue juga ketemu sama teman-teman dengan berbagai sifat. Sungguh beragam sehingga punya warna tersendiri di sana.
Binus 9 yang kucinta (?) |
Lagi sarapan. Piring musti lurus dari ujung ke ujung, katanya. |
Saling rangkul, menangis dengan bangga |
Hormat dan cium bendera pusaka, agar kami ingat untuk mencintai Ibu Pertiwi |
Naik batu, lalu monkey cross, dan akhirnya turun tebing |
Beberapa foto ini mungkin nggak mewakili semua kegiatan yang gue alami di Jatiluhur, tapi gue mau berbagi pengalaman ke kalian semua. Gue juga sadar, kalau 'siksaan' di Jatiluhur selama 1 minggu itu nggak sebanding dengan apa yang akan gue alami di dunia nyata.
Kalo gue nyerah ketika di Jatiluhur, gimana gue bisa bertahan di dunia yang keras ini?
Terima kasih untuk para pelatih, yang sudah meluangkan waktunya untuk melatih kami yang jemboret dan ndlahom ini. Kami yang anak kota memang nggak terbiasa untuk mandiri dan bergerak dengan cepat seperti yang para pelatih mau. Tapi kami tidak menyerah, pak. Bahkan kami jadi lebih bersemangat untuk menjalani organisasi dan dunia kami. Apa yang sudah pelatih kasih, akan kami kenang selalu. Demi keluarga, organisasi, dan Indonesia..
Anyways....
Balik-balik dari Jatiluhur, gue menatap cermin yang ada di Binus Square.
DEFAK, MUKA GUE BELANG!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar