Heiyoo~ Mari kita lanjutkan postingan gue mengenai experiential learning~~
Tiba-tiba bus kami digedor-gedor oleh beberapa TNI. Semoga busnya nggak penyok. Amin.
Kamipun disuruh untuk jalan jongkok dari depan bus ke tempat yang entahlah mereka akan membawa kami ke mana. Barang-barang kami pun disuruh bawa. Setelah jalan jongkok, kami disuruh untuk berdiri-jongkok. Kayaknya otot betis gue udah segede gaban kali, yak? Di situ gue udah mau nangis, gara-gara mata gue kelilipan serangga.
Malam itu malam yang sungguh panjang buat gue, atau mungkin buat semua peserta di sana.
Bisa dibilang begitu karena bukannya kita langsung diantar untuk istirahat, kita malah disuruh pakai pelampung untuk mendayung mengarungi lautan danau yang gelap dan hanya diterangi oleh sinar bulan. (sumpah gue nggak bohong). Minimnya pencahayaan, membuat kami saling tidak mengenal anggota kelompok yang sudah dibagi. Tapi ya sudahlah, kita dituntut untuk bekerjasama, kan? Bodo amatlah, kenal nggak kenal, yang penting dayung sampai ke pulau yang dituju.
Ternyata,
kami disuruh dayung ke arah pulau pasir merah. Literally merah.
Di sana nggak ada apa-apa, cuma pasir yang dipadatkan menjadi sebuah pulau kecil. Di sana udah banyak pelatih yang siap menghukum kami. Untungnya nggak langsung dihukum sih, kita disuruh untuk bangun tenda. Gue bersama 3 ciwik dari kelompok Binus 9 pun dengan sigap membangun tenda. Untung dulu gue pernah ikut pramuka, at least gue tau fungsi pasak dan cara untuk pasangnya. Membangun tenda itu susah-susah gampang. Kemarin yang jadi kendala adalah pencahayaan (untung disuruh bawa senter), tenaga kami yang sudah terkuras habis gara-gara mendayung, dan tanah yang cenderung lembek. Sebel.
Akhirnya tenda kelar dipasang. Barang-barang udah masuk ke dalam tenda. Matras pun udah terpasang sempurna. Yes, saatnya BOBOK.
Impian gue untuk memejamkan mata terpaksa dipending dulu, soalnya ada apel malam. Sekali lagi kami disuruh untuk jongkok-berdiri beberapa kali di atas tanah yang lembek lembek ngeselin. Duh, pelatih.. Udah malem, saatnya kami bobok cantique!
Hari demi hari kami lalui. Kami dibagiin baju PDL yang ukurannya buat bapak-bapak militer berotot Ade Rai, udah pasti di gue gedenya minta ampun. Kayaknya muat buat 2 orang yang berbadan kecil kayak gue. Baju kegedean, celana kedodoran, sepatu kelonggaran. Great. Gue merasa kayak anak kecil lagi main dandan-dandanan ala tante cabe-cabean pake lipstik mencong eyeshadow mentereng dan sepatu high heels kegedean yang kalo dipake buat jalan kaki bisa kepletot sendiri (what the hell is kepletot?!). Ih emesh....
Di sinilah siksaan terbesar gue, yaitu MAKAN.
Di sana, semua dituntut untuk cepat. Bangun cepat, kumpul cepat, ganti baju cepat, masak cepat, bahkan kedip mata pun harus cepat. Nah, kelemahan gue adalah makan cepat. Gue nggak bisa makan cepat, gue kalo makan harus dengan penghayatan khusus supaya sari-sari makanannya terserap dengan apik *halah*. Ya intinya gue kalo ngunyah nggak bisa cepat, apalagi kalo dapet tekanan dari para pelatih. Gila, baru kali ini gue ngunyah makanan cuma 3 kali terus langsung telen. Gue kasian sama lambung gue, kerjanya kan jadi lebih berat :'<
Nah, ada kejadian lucu ketika lagi makan. Saat itu, kita lagi masak mie goreng, nasi, sama sayur. Kita emang dikasih bahan makanan seadanya dan harus masak dulu. Karena bahan makanan yang terbatas dan jumlah kami ada 106 orang, makanya porsi makanan di tiap piring nggak begitu banyak. Begitu mau makan, para pelatih tiba-tiba bawa segentong nasi. Piring kamipun ditarik kembali dan dikasih 2 centong nasi lagi. Njir, gue nggak yakin bisa abis kalo kayak gini caranya!!!
Tiba-tiba temen satu kelompok gue, cowok, dia angkat tangan. Sebut saja dia Nobunaga.
Nobunaga: "Pelatih!"
Pelatih: "Apa kamu, hah?!"
N: "Sa-saya nggak bisa makan nasi, pelatih!"
P: " Apa?!"
N: "...Saya phobia nasi, pelatih!"
Langsung semua mata tertuju pada Nobunaga.
W H A T ? !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar